Menjadi Bodoh Karena Online

Dunia maya tetaplah dunia maya. Ada batas - batas dimana kehidupan real perlu mendapat porsi yang semestinya. Berlebihan dan tidak proporsional dalam membagi waktu online - offline akibatnya bukan saja tidak sehat, tapi juga bodoh.

Internet memang sumber beragam informasi, namun tidak semua. Internet memang sarana alternatif berbagi, tapi harusnya bukan yang utama. Offline, seboring apapun, adalah realita yang seharusnya tidak membuat kita lari dari keadaan dan tenggelam dalam dunia maya. Seperti bapak saya bilang, "kamu tidak akan bisa masuk liang kubur sendiri".

Introvert dan aktifitas online yang masif bisa membuat kecerdasan sosial real kita berkurang, nalar obyektif terkikis, dan pada kelanjutannya menyababkan pengetahuan yang tidak berimbang. Tidak proporsional. Seperti apa contohnya?

1. Keanekaragaman hayati opini terkikis
Kita mungkin melihat wisdom of crowd sebagai sarana mengetahui kebenaran obyektif, tapi kita lupa, wisdom of crowd online mengesampingkan opini offliners. Jika dipandang bahwa onliners/netter adalah bagian dari masyarakat umum, kita lupa lagi, bahwa bagian itu sendiri tergroup dalam satu term. Netters. Non netter atau offliners sama sekali tidak terlibat. Jika masalah - masalah yang kita bahas adalah hal umum, melibatkan netters dan non netters, wisdom of crowd via online saja masih jauh dari valid untuk bisa dibilang obyektif. Berpijak dalam hal ini dan membawanya konklusinya ke ranah non netter, jangan kaget jika anda terkaget - kaget karena apa yang ada di sana tidaklah sama dengan yang anda duga.

2. Influence yang terlalu viral
Apa yang terjadi jika sesuatu menjadi terlalu viral? Yang paling jelas adalah variasi akan kandas lebih awal. Penyebabnya adalah sistem komparasi dan judgement yang langsung terbentuk dengan cepat, sejak mula, sehingga variasi yang nampak inferior di awal akan hilang, tidak ada buzz untuk berlanjut menjadi bahasan dalam yang menambah koleksi variasi yang ada. Contoh mudahnya : Jika sejak mula terbentuknya instrumen musik dan seni berlangsung terlalu viral, dengan komparasi dan jugdgement di awal - awal, apakah kita yakin ada tari pendet, gambyong? Apakah akan ada gamelan? Mungkin semua hanya akan tampil di awal dan mungkin saja segera tersingkir tanpa pernah berkembang menjadi sebuah budaya yang kaya.

3. Gagap sosial
Gagap sosial adalah pandangan yang menganggap ritual dan hal - hal yang sifatnya tradisi menjadi tidak penting. Jadi kikuk, bingung, dan kehilangan sense terhadap mekanisme komunikasi dan sosialisasi real. Mungkin ada yang berpendapat, "ah, yang kayak - kayak gitu nggak ada juga ga apa - apa. Nggak masalah". Nah, yang seperti ini akan tumbuh sebagai ekses negatif online secara massif. Ujung - ujungnya, semua dianggap tetek bengek tidak penting. Yang penting cuma komputer dan koneksi internet.

Sebenarnya masih banyak lagi yang bisa digali tapi sementara itu dulu untuk menjadi bahan renungan kita kali ini. Online, dalam batas tertentu adalah manfaat, namun selebihnya adalah mudharat.
Jika anda tertarik dengan artikel – artikel di blog ini, silahkan berlangganan gratis via RSS Feed, atau jika anda lebih suka berlangganan via email, anda bisa mendaftar di Sini.

2 komentar:

winoto said...
oooo, itu tho alesanmu skr off mas? hehehehe. aku buka blogmu, aku kira kowe posting yg kita diskusikan td siang. ayo semangat mbut gawe, ben dapure ngepul...
BudiTyas said...
Nggak off, cuman membatasi diri n membuat prioritas. Lha ini aku tetap online, hehe...

Post a Comment

Untuk lebih mudah berkomentar, pilih opsi Name/Url. Anda tinggal isi nama saja, plus alamat situs jika anda punya blog/website. Ayo berbagi opini.

 
poside by budityas |n|e