Jaksa Kasus Prita Mulyasari

Selain kasus Prita Mulyasari sendiri, ternyata pemberitaan Prita - OMNI yang terus saja hangat ini mulai menyebar ke investigasi banyak hal yang terkait proses hukum yang terjadi, termasuk perangkat hukumnya. Dalam hal ini adalah jaksa dan kejaksaan. Investigator yang berpangkat sersan wartawan :D mulai mengendus hal - hal yang tidak beres di kejaksaan. Berita terbarunya sebagai berikut :


Pihak kejaksaan diduga mengalami konflik of interest oleh adanya layanan medical checkup gratis yang diselenggarakan OMNI untuk kejaksaan. Dugaan itu dikuatkan dengan sebuah surat berstempel yang skrinsyutnya terpampang di detik dot com seperti ini : Dari situ kemungkinan pemberitaan tentang kasus ini masih panjang. Jika tertarik, bisa saja KPK ikut ambil bagian. Bukan masalah jumlah korupsinya, tapi lebih pada proses peradilan yang tidak lagi bersih dari konflik kepentingan. Jika semua bisa terungkap, maka satu kasus bisa menjadi contoh dan landasan bagi kasus - kasus lain yang mungkin saja terjadi di kantor - kantor kejaksaan lain.

Jika sudah terendus pers, nampaknya ujung masalah harus benar - benar dipantau. Terlewat sedikit saja dan pers abai, kasus itu berakhir seperti apa tidak akan ketahuan. Masih ingat kasus hartono prapanca? Ada yang tahu perkembangan kasusnya? Nah, ini kritik untuk pers. Kadang ending suatu berita bersambung tanpa ada tamatnya hanya karena ada kasus hot lain yang layak diberitakan.

Jika anda tertarik dengan artikel – artikel di blog ini, silahkan berlangganan gratis via RSS Feed, atau jika anda lebih suka berlangganan via email, anda bisa mendaftar di Sini.

2 komentar:

Anonymous said...
Landasan Hukum Untuk Melawan RS Omni International Alam Sutera

Definisi pelaku usaha di UU No. 8 tahun 1999 tentang Praktek Kesehatan: “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Rumah Sakit Omni Internatioonal Alam Sutera (RS OIAS) adalah pelaku usaha karena berbentuk badan hukum, melakukan kegiatan dan berkedudukan di wilayah negara RI yang menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi, yaitu kesehatan. Dalam hal munculnya kasus di mana konsumen (Prita) tidak dapat memperoleh hasil rekam mediknya, RS OIAS melanggar kewajibannya sebagai pelaku usaha seperti yang dikatakan pada Pasal 7 huruf b UU No. 8/1999, yaitu “Kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”.

Konsekuensi RS OIAS dalam kasus ini karena tidak memberikan informasi medis (hasil laboratorium) yang benar pada Prita sehingga berakibat Prita mendapatkan penanganan medis yang salah, yaitu penangan medis untuk demam berdarah padahal Prita tidak sakit demam berdarah, maka RS OIAS patut diduga melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf a UU No. 8 tahun 1999.

Pasal 8 UU No. 8 ayat (1) huruf a tahun 1999 berbunyi: “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: (a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan”.

Karena melanggar Pasal 8 ini, maka sebagai pelaku usaha penjual jasa RS OIAS dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 61 dan Pasal 62 ayat (1) UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Adapun bunyi Pasal 61 adalah: “Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya”. Sedangkan Pasal 62 Ayat (1) berbunyi: “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (10 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 M (2 milyar rupiah)”.

Bagaimana mungkin konsumen telah membayar biaya pengobatan seperti yang disodorkan oleh RS OIAS sebagai kompensasi pengobatan kepada konsumen yang pada kenyataannya ada kesalahan laboratorium dan tindakan yang diambil, tidak boleh protes atau berkeluh kesah kepada sesama? Yang kemudian pihak RS OIAS lalu menuntut konsumen yang patut diduga mereka rugikan? Hebat sekali RS OIAS itu.

Kesalahan rekam medik dan penanganan medik sudah sering terjadi di berbagai RS bertaraf International di Indonesia. Namanya saja International tetapi tidak jelas apa yang dimaksud dengan International. Tidak ada dasar hukumnya yang jelas sebuah RS boleh asal pakai kata International. Apa karena bangunannya bagus, berpendingin udara, ada restoran, ada fasilitas pijat refleksi dan pijat lainnya terus boleh menyandang International? Siapa di Departemen Kesehatan yang berwenang memberi kata International dan mengauditnya setiap tahun? Tak jelas itu.
BudiTyas said...
Jika dilacak terus kasus ini, semua borok - borok bisa terungkap. Layanan medis di Indonesia terhitung mahal. Banyak yang rawat di singapore bukan lantaran keren2an, tapi memang jatuhnya bisa lebih murah dan lebih kredibel dbanding di sini. Semoga saja bola saljunya bisa terus membesar dan tetap terpantau dan diberitakan.

Post a Comment

Untuk lebih mudah berkomentar, pilih opsi Name/Url. Anda tinggal isi nama saja, plus alamat situs jika anda punya blog/website. Ayo berbagi opini.

 
poside by budityas |n|e