Para Jenderal dan Hukum

Hukum dan undang - undang, jika merujuk ke hukum itu sendiri, menyatakan bahwa tidak ada siapapun yang lepas dari hukum. Siapapun tunduk pada hukum dan perundang undangan. Teorinya seperti itu. Pada kenyataannya, hukum dan undang - undang adalah benda yang tidak bernyawa. Ia dijunjung tinggi atau terinjak, semua tergantung pada goodwill penegak hukumnya. Jika ditanya, siapakah yang lebih berkuasa dari hukum? Tentu jawabnya adalah penegak hukum. Hukum berkuasa atau tidak, semua tergantung penegak hukumnya. Penegak hukum adalah subyek, hukum sendiri adalah obyek yang diposisikan.

Banyak kasus dalam perjalanan sejarah bangsa ini yang menempatkan hukum pada posisi kedua di bawah penegak hukumnya. Dalam arti, penegak hukumnya bertindak melanggar hukum, di atas hukum, dan mereka tidak mendapat konsekwensi/hukuman atas perbuatannya. Pertanyaan yang mengemuka kemudian, jika dalam hukum disebutkan bahwa tidak ada yang boleh lepas dari hukum, siapapun itu, mengapa penegak hukum bisa bebas? Mengapa mereka sukar diadili?

Jawaban untuk itu sebenarnya mudah. Jika nomor dua menyatakan bahwa dirinya adalah nomor satu dan semua tunduk padanya, apakah yang nomor satu secara de facto terinclude di situ? Tidak kan? Pada kenyataannya, ada subyek yang dengan goodwillnya sendiri perlu dengan sukarela untuk menempatkan diri di bawah hukum dan mau/rela menempatkan hukum untuk berada di urutan pertama. Tanpa ada paksaan. Jika hukum masih nomor dua, meski secara hukum rakyat paling berkuasa, rakyat nomor satu, atau apapun itu, tidak akan merubah kenyataan bahwa penegak hukum ada di atas hukum, yang sama artinya pula bahwa rakyat bukan yang paling berkuasa, bukan yang nomor satu.

Ini tentunya bisa pula untuk menjawab mengapa sangat sulit untuk menyeret para jenderal untuk duduk jadi pesakitan, mengapa Soeharto tidak bisa diadili, dan semacamnya. Masih cukup beruntung bahwa mereka, penegak hukum tersebut, cukup punya itikad baik tahun 1998 lalu dan mau menempatkan dirinya di bawah hukum. Jika tidak, bukan tidak mungkin ratusan ribu rakyat tewas karena rakyat bergerak dengan bersandar pada hukum yang secara real ada di posisi dua.

Sampai saat inipun saya masih salut, .. yah, tepatnya heran dengan mereka - mereka yang berusaha menuntut para jenderal untuk korban kerusuhan - kerusuhan yang pernah terjadi. Karena jika pijakannya adalah hukum, maka lawan mereka adalah pihak - pihak yang memiliki kemampuan memposisikan hukum di atas atau di bawah mereka. Yah, sekali lagi, hukum tetaplah benda mati. Di atas hukum adalah goodwill dari penegak hukumnya, dan itu bukan hal yang bisa dituntut atau diperkarakan dengan landasan aturan di bawahnya. Lebih tepat jika goodwill itu distimulasi dari sisi moral, nurani, agama, dan semacamnya. Karena kita tahu, di atas segalanya, masih ada Tuhan yang lebih berkuasa.
Jika anda tertarik dengan artikel – artikel di blog ini, silahkan berlangganan gratis via RSS Feed, atau jika anda lebih suka berlangganan via email, anda bisa mendaftar di Sini.

6 komentar:

Bisnis Online said...
Hmmm.. apakah mereka punya kekebalan hukum ?
smoga goodwill nya juga seimbang dan tidak meniimbulkan kerugian dalam hal apapun bagai berbagai pihak
nayantaka said...
sangat tidak adil jika mereka sampai punya kekebalan hukum
BudiTyas said...
Sebenarnya bukan kebal hukum, terutama jika yang disengketakan adalah oknum. Semua kembali ke goodwill individu2 penegak hukumnya. Moralitas, niat baik, dan rasa takutnya pada Yang di Atas. Karena itu setiap penguasa disumpah dengan kitab suci agamanya masing - masing, karena hanya itu saja yang bisa diharapkan bisa mengatur seorang pengatur/penegak Hukum.
Khery Sudeska said...
Yah..., niat baik adalah modal utama... Salam kenal mas... Good post!
BudiTyas said...
Salam kenal juga mas Deska :)

Post a Comment

Untuk lebih mudah berkomentar, pilih opsi Name/Url. Anda tinggal isi nama saja, plus alamat situs jika anda punya blog/website. Ayo berbagi opini.

 
poside by budityas |n|e